Jumat, 07 Juni 2013

SAJAK KENALAN LAMAMU ( Ws. Rendra, Yogyakarta, 21 Juni 1977 )

SAJAK KENALAN LAMAMU
Oleh:   WS Rendra

Kini kita saling berpandangan saudara. 
Ragu-ragu apa pula, 
kita memang pernah bertemu. 
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api, 
tergencet oleh penumpang berjubel, 
dari Yogya ke Jakarta, 
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran, 
sambil memeluk satu anakmu, 
sementara istrimu meneteki bayinya, 
terbaring di sebelahmu. 
Pernah pula kita satu truk, 
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah, 
sambil meremasi tetek tengkulak sayur, 
dan lalu sama-sama kaget, 
ketika truk tiba -tiba terhenti 
kerna Distop oleh polisi, 
yang menarik pungutan tidak resmi. 
Ya, saudara, kita sudah sering bertemu, 
kerna sama-sama anak jalan raya. 
.................................
Hidup macam apa ini! 
Orang-orang dipindah kesana ke mari. 
Bukan dari tujuan ke tujuan. 
Tapi dari kondisi ke kondisi yang tanpa perubahan. 
.........................
Kini kita bersandingan, saudara. 
Kamu kenal bau bajuku. 
Jangan kamu ragu-ragu, 
kita memang pernah bertemu. 
Waktu itu hujan rinai. 
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah 
tepat pada waktu kamu juga menariknya. 
Kita saling berpandangan. 
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu. 
Aku membuka mulut, 
hendak mengatakan sesuatu ...... 
Tak sempat! 
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku ..... 
Dalam pandangan mata berkunang-kunang, 
aku melihat kamu 
membawa helaian plastik itu 
ke satu gubuk karton. 
Kamu lapiskan ke atap gubugmu, 
dan lalu kamu masuk dengan anakmu ..... 
Sebungkus nasi yang dicuri, 
itulah santapan. 
Kolong kios buku di terminal 
itulah peraduan. 
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini, 
karena kita anak jadah bangsa yang mulia. 
.................. ....
Hidup macam apa hidup ini. 
Di taman yang gelap orang menjual badan, 
agar mulutnya tersumpal makan. 
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan 
agar pantatnya diganjal sedan. 
................. 
Duabelas pasang payudara gemerlapan, 
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya . 
Dan di bawah semuanya, 
celana dalam sutra warna kesumba. 
Ya, saudara, 
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua. 
Ragu-ragu apa pula 
kita memang pernah bertemu. 
Kita telah menyaksikan, 
betapa para pembesar 
menjilati selangkang wanita, 
sambil kepalanya diguyur anggur . 
Ya, kita sama-sama germo, 
yang menjahitkan jas di Singapura 
mencat rambut di pangkuan bintang film, 
main golf, main mahyong, 
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat. 
........... 
Hidup dalam khayalan, 
hidup dalam kenyataan ...... 
tak ada bedanya. 
Kerna khayalan dinyatakan, 
dan kenyataan dikhayalkan, 
di dalam peradaban fatamorgana. 
..........
Ayo, jangan lagi sangsi, 
kamu kenal suara batukku. 
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar. 
Ya, memang aku. Temanmu dulu. 
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu 
bergiliran meniduri gula-gulanya, 
dan mengintip ibumu main serong 
dengan ajudan ayahmu. 
Kita telah sama-sama beli Morphin dari guru kita. 
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu, 
dan akhirnya menggeletak di emper tiko, 
di samping kere di Malioboro. 
Kita alami semua ini, 
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita. 
.....
Hidup melayang-layang. 
Selangit, 
melayang-layang. 
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja ..... 
meninggi .... Ke awan ...... 
Peraturan dan hukuman, 
kitalah yang empunya. 
Kita tulis dengan keringat di ketiak, 
di atas sol sepatu kita. 
Kitalah gelandangan kaya, 
yang harus meyakinkan diri 
dengan pembunuhan. 
........... 
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan. 
Kini kita bertemu lagi. 
Ya, jangan kamu ragu-ragu, 
kita memang pernah bertemu. 
Bukankah tadi sudah kamu kenal 
betapa derap langkahku?
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, 
membakari mobil-mobil, 
melambaikan poster-poster, 
dan berderap maju, berdemonstrasi. 
Kita telah sama-sama merancang strategi 
di panti pijit dan restoran. 
Dengan arloji emas, 
secara teliti kita susun jadwal waktu. 
bergadang, berkonsultasi di larut kelam, 
sambil mendekap  hostess  di klub malam. 
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik adalah cara merampok dunia. 
politk adalah cara menggulingkan kekuasaan, 
untuk menikmati giliran berkuasa. 
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan. 
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi 
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter! 
Politik adalah festival dan pekan olah raga . 
Politik adalah wadah kegiatan kesenian. 
Dan bila ada orang banyak bacot, 
kita cap ia sok pahlawan. 
.............................
Dimanakah kunang-kunag di malam hari? 
Dimanakah trompah kayu di muka pintu? 
Di hari-hari yang berat, 
aku cari kacamataku, 
dan tidak ketemu. 
..................
Ya, inilah aku ini! 
Jangan lagi sangsi! 
Inilah bau ketiakku. 
Inilah suara batukku. 
Kamu telah menjamahku, 
jangan lagi kamu ragau.
Kita telah sama-sama berdiri di sini, 
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api, 
gunung yang kelabu membara, 
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani 
di putar  blue-film  di dalamnya. 
.....................
Kekayaan melimpah. 
Kemiskinan melimpah. 
Darah melimpah. 
Ludah menyembur dan melimpah. 
Waktu melanda dan melimpah. 
Lalu muncullah banjir suara. 
Suara-suara di kolong meja. 
Suara-suara di dalam Lacu. 
Suara-suara di dalam pici. 
Dan akhirnya 
dunia terbakar oleh tatawarna, 
Warna-warna nilon dan plastik. 
Warna-warna seribu warna. 
Tidak luntur semuanya. 
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi 
dari suatu kejadian, 
yang kita tidak tahu apa-apa, 
namun lahir dari perbuatan kita.

                                                                      Yogyakarta, 21 Juni 1977 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar