Di
majalah Bara’imul Iman yang saya pegang itu saya menemukan sebuah kisah yang
sangat bergizi dan memotivasi. Sebuah kisah fabel yang sangat menggugah dan
inspiratif judulnya Kisah Seekor Anak Singa.
Alkisah,
di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan
anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa
waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu
menggerak- gerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya.
Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan
terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu. Sang induk
kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan
dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak
mau berpisah dengan sang induk kambing.
Ia
terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari
keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh
dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia
menyusu, makan, minum, bermain bersama anakanak kambing lainnya. Tingkah
lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar
itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la
merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing- kambing lainnya.
Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa. Suatu
hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing
untuk dimangsa. Kambingkambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang
juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.
”Kamu
singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan
serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang
sudah tampak besar dan kekar.
Tapi
anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru
ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak
sekeraskerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama
seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat
apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya
diterkam dan dibawa lari serigala.
Induk
kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak
singa dengan perasaan nanar dan marah, ”Seharusnya kamu bisa membela kami!
Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala
yang jahat itu!”
Anak
singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk
kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing
lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apaapa.
Hari
berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing
untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh
serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak
kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram
serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget
bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya.
Serigala
itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah
akhir hidupnya! Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak
keras,
”Emmbiiik!”
Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi. Melihat
tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa
yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya
dengan kambing.
Seketika
itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh
singa itu! Atau singa bermental kambing itu!
Saat
anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang
serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit,
serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab
dan mengaduh, seperti kambing mengaduh.
Sementara
induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa.
Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala.
Bukankah singa adalah raja hutan?
Tanpa
memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh
itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis
itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala.
Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.
Dan
pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat!
Semua
kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat.
Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak
menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu
ada seekor anak singa. Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari.
Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa
anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan
berkata,
”Hai
kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing!
Aku
tak akan memangsa anak singa!” Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa
dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah
mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu
ketakutan,
”Jangan
bunuh aku, ammpuun!”
”Kau
anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!” Dengan
meronta-ronta anak singa itu berkata,
“Tidak
aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!” Anak singa itu meronta dan berteriak
keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.
Sang
singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara
kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke
danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di
danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya
sendiri. Lalu membandingkan dengan singa dewasa. Begitu melihat bayangan
dirinya, anak singa itu terkejut,
“Oh,
rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”
”Ya,
karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.
”Jadi
aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”
”Ya
kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh
isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa
dewasa. Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum
dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya
mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu
lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu. Anak singa
itu kembali berteriak penuh kemenangan,
“Aku
adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”Singa dewasa tersenyum
bahagia mendengarnya.
Saya
tersentak oleh kisah anak singa di atas! Jangan jangan kondisi kita, dan
sebagian besar orang di sekeliling kita mirip dengan anak singa di atas. Sekian
lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimilikinya.
Betapa
banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya, biasa- biasa saja, ala
kadarnya. Hidup dalam keadaan terbelenggu oleh siapa dirinya sebenarnya. Hidup
dalam tawanan rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup
tanpa semangat hidup yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang
dimilikinya. Saya amati orang-orang di sekitar saya.
Di
antara mereka ada yang telah menemukan jati dirinya. Hidup dinamis dan prestatif.
Sangat faham untuk apa ia hidup dan bagaimana ia harus hidup. Hari demi hari ia
lalui dengan penuh semangat dan optimis. Detik demi detik yang dilaluinya
adalah kumpulan prestasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan menghadap
semakin besar pula semangatnya untuk menaklukkannya.
Namun
tidak sedikit yang hidup apa adanya. Mereka hidup apa adanya karena tidak
memiliki arah yang jelas. Tidak faham untuk apa dia hidup, dan bagaimana ia
harus hidup. Saya sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya,
“Bagaimana
Anda menjalani hidup Anda?” atau “Apa prinsip hidup Anda?”, mereka menjawab
dengan jawaban yang filosofis,
”Saya
menjalani hidup ini mengalir bagaikan air. Santai saja.” Tapi sayangnya mereka
tidak benar-benar tahu filosofi ’mengalir bagaikan air’. Mereka memahami hidup
mengalir bagaikan air itu ya hidup santai. Sebenarnya jawaban itu mencerminkan
bahwa mereka tidak tahu bagaimana mengisi hidup ini. Bagaimana cara hidup yang
berkualitas. Sebab mereka tidak tahu siapa sebenarnya diri mereka? Potensi terbaik
apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka. Bisa jadi mereka
sebenarnya adalah ’seekor singa’ tapi tidak tahu kalau dirinya ’seekor singa .
Mereka
menganggap dirinya adalah ’seekor kambing sebab selama ini hidup dalam kawanan
kambing. Filosofi menjalani hidup mengalir bagaikan air yang dimaknai dengan
hidup santai saja, atau hidup apa adanya bisa dibilang prototipe, gaya hidup
sebagian besar penduduk negeri ini. Bahkan bisa jadi itu adalah gaya hidup
sebagian besar masyarakat dunia Islam saat ini.
( Ketika Cinta Bertasbih -2, Habiburrahman El Zhirazy )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar